Membaca Arah Gerakan Mahasiswa Masa Kini: Ketika Pragmatisme Meredupkan Daya Kritis

Opini184 Dilihat

RANAHSULTRA.COM – Mahasiswa, agen perubahan sosial, sejak dulu dipercaya sebagai poros pergerakan menuju masyarakat yang adil dan sejahtera. Mereka sering kali berada di garis depan, menjadi penggerak gelombang protes, dan dengan lantang menyuarakan kebenaran di hadapan kekuasaan. Namun, ketika kita menoleh pada gerakan mahasiswa hari ini, ada tanda-tanda perubahan arah yang mencemaskan.

Daya kritis, yang dulu menjadi senjata utama, perlahan memudar, digantikan dengan pragmatisme yang mengejar kepentingan jangka pendek. Gerakan perlawanan yang berani dan lantang kini berganti dengan bisikan kompromi, sering kali di bawah meja, di balik retorika normatif yang hampa substansi.

Gerakan mahasiswa hari ini, sayangnya, lebih sering diwarnai oleh kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. Pragmatisme yang mengakar dalam diri mereka telah menggeser idealisme yang selama ini menjadi landasan utama perlawanan terhadap rezim sewenang-wenang. Sebuah ironi, ketika gerakan yang seharusnya murni memperjuangkan keadilan sosial kini tampak semakin jauh dari akar radikalnya.

Banyak yang kehilangan keberanian untuk mempertanyakan kebijakan yang jelas-jelas tidak pro terhadap rakyat. Diskusi di ruang-ruang kampus berubah menjadi ajang pemujaan kepentingan individu, dan aksi-aksi massa digelar dengan slogan-slogan yang terdengar keras namun hampa makna.

Di tengah kondisi ini, muncul pertanyaan yang layak kita renungkan bersama: ke mana gerakan mahasiswa yang dulu berani melawan kekuasaan? Dulu, kekuasaan yang sewenang-wenang akan dengan cepat dibalas dengan aksi demonstrasi masif, penuh semangat perlawanan.

Namun sekarang, kebijakan yang merugikan masyarakat, seperti penggusuran, kenaikan harga bahan pokok, atau peraturan yang hanya menguntungkan segelintir elit, sering kali berlalu tanpa perlawanan berarti dari kaum intelektual muda.

Mengapa daya kritis ini meredup? Salah satu jawabannya bisa kita temukan dalam budaya pragmatisme yang merasuki tubuh gerakan mahasiswa. Banyak yang memilih jalan mudah: bekerja sama dengan kekuasaan, alih-alih menentangnya.

Posisi strategis, karir, dan akses ke kekuasaan menjadi godaan yang terlalu besar untuk dihindari. Aktivisme pun berubah wajah menjadi sekadar alat untuk mencari panggung pribadi.

Tidak bisa dipungkiri, ada upaya sistematis untuk melemahkan gerakan mahasiswa. Kampus-kampus yang dulu menjadi ruang kebebasan berpikir kini justru sering kali membungkam kebebasan itu dengan regulasi ketat, larangan aksi, atau bahkan kriminalisasi mahasiswa yang bersuara kritis.

Gerakan mahasiswa, yang seharusnya berdiri di atas keberanian moral, malah terjebak dalam jaringan kepentingan ekonomi-politik yang kompleks. Maka tak heran jika daya kritis mahasiswa seolah terpasung dalam lingkaran setan pragmatisme dan sikap apatis.

Eko Prasetyo pernah menulis, “Melawan adalah hak rakyat ketika keadilan dirampas.” Pesan ini seharusnya menjadi nyala api yang menggerakkan mahasiswa untuk tetap berani bersuara lantang. Mahasiswa adalah suara rakyat yang tidak bisa dibungkam. Mereka seharusnya tidak boleh tunduk pada kekuasaan, terlebih pada kebijakan yang jelas-jelas tidak berpihak pada masyarakat.

Sayangnya, suara perlawanan ini semakin jarang kita dengar. Alih-alih menjadi lokomotif perubahan, gerakan mahasiswa justru sering terseret dalam permainan kekuasaan yang semakin menjauhkan mereka dari idealisme. Kritik yang disampaikan pun sering kali terasa tidak tajam, sekadar memenuhi syarat formalitas tanpa nyali.

Kita tentu berharap, di tengah kelesuan ini, ada secercah harapan. Bahwa masih ada segelintir mahasiswa yang sadar bahwa pragmatisme ini hanya akan menghancurkan integritas gerakan. Bahwa mereka akan bangkit, melawan arus, dan mengembalikan semangat kritis yang selama ini telah terkikis oleh kepentingan jangka pendek.

Bahwa gerakan mahasiswa akan kembali menjadi kekuatan moral yang menantang kekuasaan yang tidak adil, memperjuangkan nasib rakyat, dan mengembalikan marwah mereka sebagai agen perubahan.

Membaca arah gerakan mahasiswa masa kini berarti menyadari ancaman pragmatisme dan hilangnya daya kritis. Ini bukan hanya masalah bagi mahasiswa, tetapi juga bagi masa depan bangsa. Kekuatan perlawanan harus terus dipelihara, karena dalam setiap kebijakan yang menindas, suara perlawananlah yang menjadi penyeimbang.

Mahasiswa tidak boleh lagi berdiam diri. Sebab jika mereka menyerah pada pragmatisme, siapa lagi yang akan membela kepentingan masyarakat?

Penulis: Muhamad Rifal Amanah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *