Penulis: Radians Caprilia Putra Syawal (Mahasiswa Biasa, lahir di pelosok Sulawesi Tenggara)
RANAHSULTRA.COM – Hari Buruh Internasional seharusnya menjadi tonggak perlawanan, bukan sekadar perayaan seremonial. Di Sulawesi Tenggara, fakta yang terpampang justru mengoyak hati: lebih dari 1.280 buruh di-PHK sepanjang 2024 hingga awal 2025.
Di Bombana saja, dua perusahaan besar memecat 400 pekerja dalam satu waktu—atas nama efisiensi dan disiplin. Tapi siapa yang peduli bahwa di balik kata “efisiensi”, ada keluarga yang kehilangan penghasilan, ada anak-anak yang terancam putus sekolah?
Baca juga : MELIHAT MUNA DI UJUNG SELATAN
Kita tidak sedang bicara angka. Kita bicara tentang manusia yang diperlakukan sebagai angka dalam laporan korporasi. Pemerintah hanya mencatat, tetapi tidak bertindak.
Serikat pekerja dibungkam dengan dialog formalitas. Dan buruh? Mereka terus menjadi korban dari sistem yang membiarkan ketimpangan tumbuh liar.
Baca juga : Danau Moko: Akuarium Alami di Pulau Muna
Lebih dari 60% pekerja di Sultra berada di sektor informal. Artinya, mereka tidak punya jaminan kerja, tidak ada jaminan kesehatan, apalagi pensiun. Mereka hidup dalam ketidakpastian, bekerja keras tanpa perlindungan. Inikah yang disebut “lapangan kerja”?
Ironisnya, pada Hari Buruh, para pejabat akan naik podium, menyampaikan pidato indah tentang “kontribusi buruh”. Tapi siapa yang melindungi mereka ketika dipecat tanpa pesangon? Siapa yang berdiri bersama mereka ketika upah tak dibayar? Tidak ada.
Baca juga : Muna: Potensi Kekayaan Melimpah, Tapi Tenggelam Dalam Kemiskinan
Sudah waktunya buruh bersatu, bersuara, dan menuntut perubahan. Regulasi yang melindungi buruh harus ditegakkan. Pengawasan terhadap perusahaan nakal harus diperketat. Dan negara harus berpihak, bukan sekadar menjadi penonton.
Hari Buruh bukan hari pesta. Ini hari perlawanan. Mari jadikan 1 Mei bukan sekadar tanggal merah, tapi tanda bahwa buruh tidak akan tinggal diam.