Sultra: Kaya Tambang, Miskin Jalan

Ironi Kekayaan Alam yang Tak Menyejahterakan

Berita, Ranah Sultra257 Dilihat

RANAHSULTRA.COM – Di balik bentang alamnya yang menawan dan perut buminya yang kaya akan nikel serta emas, Sulawesi Tenggara justru menyimpan potret ironi: kekayaan melimpah, namun kemiskinan dan keterbelakangan infrastruktur masih membayangi. Provinsi yang berada di jantung Indonesia timur ini seolah menjadi “lumbung” bagi kebutuhan nasional, namun bukan untuk rakyatnya sendiri.

Sulawesi Tenggara adalah permata sumber daya alam—nikel, emas, hasil laut, hingga destinasi wisata kelas dunia seperti Wakatobi. Namun, kekayaan ini tak kunjung menjelma menjadi kesejahteraan yang merata. Jalan-jalan rusak, pelabuhan terbatas, dan banyak desa masih terisolasi karena minimnya infrastruktur dasar.

Baca juga : Jalan Rusak Puluhan Tahun, Warga Matombura: Kami Masih Bagian dari Muna, atau Sudah Dibuang?

Setiap tahun, mayoritas anggaran pembangunan diambil dari kantong pusat: Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan berbagai bentuk transfer lainnya. Ketergantungan ini membuat daerah sulit bermanuver dalam merancang program pembangunan yang mandiri, apalagi berkelanjutan.

Padahal, bila dikelola dengan optimal, sektor pertambangan dan pariwisata saja bisa menjadi mesin utama Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sayangnya, kendali atas sumber daya ini lebih banyak berada di tangan perusahaan besar dan regulasi pusat. Pemerintah daerah sering kali hanya menjadi pengawas pasif, bukan pengatur aktif.

Baca juga : Jalan Rusak Parah, Warga Wapuale Merasa Dianaktirikan

Di sektor kelautan, potensi besar pun seakan hanya menjadi angka di atas kertas. Panjang garis pantai dan kayanya biodiversitas laut tidak mampu mendongkrak ekonomi nelayan karena keterbatasan pelabuhan dan fasilitas penyimpanan. Hasil tangkapan tak jarang membusuk sebelum sempat dijual.

Begitu pula di bidang pariwisata. Kepulauan Wakatobi telah mencuri perhatian dunia, namun akses, promosi, dan fasilitas masih jauh dari harapan. Tanpa dukungan infrastruktur dan pendanaan memadai, potensi wisata bahari ini tak lebih dari sekadar “surga yang tak terjamah”.

Baca juga : Kondisi Jalan di Desa Wadolao Semakin Memprihatinkan, Warga Harapkan Perhatian Pemkab Muna

Lebih ironis lagi, meski menyumbang signifikan terhadap penerimaan negara, kontribusi yang kembali ke Sulawesi Tenggara dalam bentuk pembangunan sangat kecil. Daerah ini seperti memberikan emas, tetapi hanya menerima kerikil. Kebijakan fiskal yang timpang membuat daerah kaya seperti Sultra tetap “miskin” dalam kewenangan dan anggaran.

Namun semua belum terlambat. Pemerintah daerah bisa mengambil langkah progresif—meningkatkan kapasitas kelembagaan, merancang kebijakan yang atraktif bagi investasi, hingga membangun kemitraan strategis dengan sektor swasta. Kunci utamanya adalah keberanian untuk keluar dari pola lama dan memperjuangkan kemandirian fiskal.

Desentralisasi bukan sekadar pemindahan wewenang, tapi juga soal keadilan alokasi. Jika pusat terus memegang kendali penuh, maka daerah-daerah kaya sumber daya akan terus menjadi penonton dalam panggung pembangunan nasional.

Sulawesi Tenggara adalah cermin jelas: kekayaan alam bukan jaminan kesejahteraan, jika tak diiringi keberanian dalam pengelolaan dan kebijakan yang berpihak pada rakyat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *