RANAHSULTRA.COM – Di tengah gempuran modernisasi dan derasnya arus hukum formal, masyarakat Tolaki di Sulawesi Tenggara masih memegang teguh tradisi hukum adat mereka. Salah satunya adalah “mondutu o ra’i”, sebuah prosesi adat yang sarat makna untuk menyelesaikan masalah sosial, termasuk kasus-kasus kesusilaan seperti pelecehan seksual.
Tradisi ini bukan sekadar seremoni. Ia menjadi simbol penghormatan terhadap harga diri korban dan keluarga, serta upaya komunitas untuk memulihkan harmoni sosial yang terganggu.
Menurut tokoh adat Tolaki, prosesi mondutu o ra’i dimaknai sebagai upaya “menutup rasa malu” yang dirasakan oleh pihak korban. Biasanya dilakukan di balai adat atau rumah tokoh masyarakat, prosesi ini melibatkan pihak pelaku, korban, keluarga dari kedua belah pihak, dan tokoh adat. Pelaku diwajibkan mengakui kesalahannya secara terbuka dan memohon maaf secara adat.
Tak berhenti di situ, hukum adat Tolaki mengenal dua bentuk sanksi yang dapat dijatuhkan: peohala dan pinakawi. Peohala biasanya berupa denda adat yang dibayarkan oleh pelaku, sedangkan pinakawi bisa berarti pengucilan sosial atau bentuk sanksi sosial lain yang bersifat korektif.
“Adat bukan hanya soal menghukum, tapi juga mengembalikan keseimbangan dan rasa keadilan dalam masyarakat,” ujar Bisman Saranani, salah satu tetua adat di Konawe.
Ia menambahkan bahwa dalam konteks masyarakat Tolaki, pelaku pelecehan tak hanya merusak nama korban, tapi juga mencoreng tatanan sosial yang dijaga turun-temurun.
Meskipun hukum nasional tetap menjadi acuan utama dalam penanganan hukum pidana, keberadaan mekanisme adat seperti mondutu o ra’i menjadi cerminan bahwa masyarakat adat memiliki cara sendiri yang bermartabat dalam menegakkan keadilan.
Namun, tantangan tetap ada. Banyak kasus yang tak terselesaikan secara tuntas karena tekanan sosial atau ketidakseimbangan kekuasaan antara pelaku dan korban. Para aktivis perempuan di Sultra pun terus mendorong agar tradisi ini tidak menjadi ruang kompromi atas kejahatan, melainkan pelengkap yang memperkuat perlindungan terhadap korban.
Di era yang serba cepat ini, tradisi mondutu o ra’i hadir sebagai pengingat bahwa keadilan tak selalu datang dari ruang sidang. Kadang, ia lahir dari ruang adat yang penuh nilai dan penghormatan terhadap martabat manusia.