RANAHSULTRA.COM – Sulawesi Tenggara tengah menghadapi kenyataan pahit: kekerasan dan pelecehan seksual, khususnya terhadap perempuan dan anak, meningkat dengan laju yang mengkhawatirkan.
Data terbaru dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menunjukkan bahwa hingga April 2025, terdapat 73 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di provinsi ini, dengan hampir separuh di antaranya merupakan kekerasan seksual. Kota Kendari, sebagai ibu kota provinsi, mencatatkan angka tertinggi, yaitu 14 kasus yang dilaporkan secara resmi.
Namun, angka ini diyakini hanyalah puncak gunung es. Di balik statistik itu, tersembunyi banyak kisah pilu yang tak pernah sampai ke meja hukum atau ruang konseling karena berbagai hambatan sosial dan budaya.
Ketika Pelaku Adalah Orang Terdekat
Salah satu pola paling mencolok dalam deretan kasus adalah kenyataan bahwa banyak pelaku berasal dari lingkungan terdekat korban. Seperti kisah Sasa (14), seorang remaja yang menjadi korban pelecehan seksual oleh pamannya sendiri selama empat tahun.
Kasus ini akhirnya terungkap setelah korban mengalami trauma berat dan tidak sanggup lagi menyimpan rahasia yang membebani hidupnya.
Sasa hanyalah satu dari banyak anak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual dalam ruang yang seharusnya aman: rumah mereka sendiri.
Lembaga Pendidikan Juga Tak Aman
Keprihatinan semakin dalam ketika tempat pendidikan yang seharusnya menjadi ruang pembinaan dan perlindungan justru menjadi tempat terjadinya kekerasan. Di Kendari, seorang guru SD berinisial MN (53) dituduh melakukan pelecehan terhadap muridnya.
Tuduhan itu memicu kemarahan orang tua murid hingga MN dikeroyok secara brutal. Sementara proses hukum masih berlangsung, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mengimbau agar masyarakat menahan diri dan menghormati asas praduga tak bersalah.
Namun kasus yang lebih mencengangkan terjadi di Buton Tengah, di mana seorang guru olahraga dilaporkan telah melecehkan 24 siswi sekolah dasar. Kasus ini membuka mata publik bahwa pengawasan terhadap tenaga pendidik masih sangat longgar, dan anak-anak kita belum mendapatkan perlindungan yang layak di lingkungan sekolah.
Oknum Penegak Hukum Turut Terlibat
Lebih menyakitkan lagi, ketika aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat justru diduga menjadi pelaku. Seorang anggota Polri bernama Aipda Amiruddin diduga melakukan pelecehan terhadap seorang ibu rumah tangga.
Yang menjadi sorotan tajam bukan hanya dugaan tindakan pelecehan itu sendiri, tetapi juga perlakuan terhadap jurnalis yang meliput kasus ini. Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sulawesi Tenggara mengecam keras tindakan Polresta Kendari yang memaksa dua jurnalis menjadi saksi, sebuah tindakan yang dianggap mengancam kebebasan pers dan integritas peliputan kasus-kasus kekerasan seksual.
Pemerintah Bergerak, Tapi Terbatas
Di tengah maraknya kasus, Pemerintah Kota Kendari melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) telah mengambil beberapa langkah konkret. Layanan konseling gratis dan kampanye kesadaran di sekolah-sekolah telah digalakkan. Namun, upaya ini belum cukup.
Keterbatasan anggaran menjadi kendala utama dalam memperluas jangkauan program dan menjangkau korban-korban yang masih tersembunyi di balik tembok ketakutan dan stigma.
Aib, Stigma, dan Keheningan
Salah satu tantangan terbesar dalam pemberantasan kekerasan seksual di Sulawesi Tenggara adalah kultur diam. Banyak korban, terutama anak-anak dan perempuan, memilih bungkam karena takut dipersalahkan, dicemooh, atau dianggap membawa aib bagi keluarga.
Ini adalah luka sosial yang dalam, dan tanpa perubahan budaya yang menyeluruh, berbagai program pemerintah akan terus berbenturan dengan tembok bisu masyarakat.
Seruan untuk Bertindak
Peningkatan kasus kekerasan seksual di Sulawesi Tenggara bukan sekadar angka statistik; ia adalah krisis kemanusiaan yang menuntut perhatian serius dari seluruh elemen masyarakat. Pemerintah harus memperkuat perlindungan hukum, memastikan anggaran yang memadai, dan memperluas layanan rehabilitasi korban.
Lembaga pendidikan perlu menerapkan pengawasan ketat dan sistem pelaporan yang efektif. Penegak hukum harus diberi pelatihan khusus dalam menangani kasus-kasus ini dengan empati dan ketegasan.
Dan yang terpenting: masyarakat harus mulai mendengar, mempercayai, dan melindungi para korban. Karena di balik setiap kasus yang dilaporkan, ada banyak suara yang masih terdiam. Kita tidak boleh menunggu sampai suara-suara itu menjadi jeritan terakhir.