RANAHSULTRA.COM – Nama Marsinah kembali mencuat ke publik setelah Presiden Prabowo Subianto secara resmi mengusulkan aktivis buruh itu untuk dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Usulan ini menuai reaksi beragam, memunculkan kembali luka lama dan pertanyaan yang belum terjawab atas pembunuhan sadis yang menimpa Marsinah lebih dari tiga dekade silam.
Marsinah, buruh pabrik dan aktivis serikat pekerja, ditemukan tewas secara tragis pada Mei 1993. Ia dikenal vokal memperjuangkan hak-hak buruh, terutama soal upah layak dan kondisi kerja yang manusiawi. Namun, hingga kini, pelaku pembunuhannya tak pernah diadili secara transparan. Kasusnya bahkan sempat dianggap ditutup oleh aparat dengan serangkaian pengakuan paksa dari tersangka yang kemudian dibebaskan.
Kini, dengan usulan gelar Pahlawan Nasional dari Presiden Prabowo, berbagai kelompok masyarakat sipil justru mempertanyakan motif politik di balik keputusan tersebut.
“Apakah ini bentuk pengakuan atas ketidakadilan yang selama ini dibiarkan, atau hanya langkah politis menjelang tahun politik?” ujar Dini Ariani, Direktur LSM Hak Buruh Merdeka.
Di sisi lain, pihak Istana menegaskan bahwa usulan itu adalah bentuk penghormatan atas perjuangan Marsinah dalam memperjuangkan hak-hak buruh, bertepatan dengan peringatan Hari Buruh Internasional.
Namun, pengamat politik dan sejarahwan, Prof. Anhar Santoso, mengingatkan bahwa penghargaan semacam ini seharusnya dibarengi dengan pembukaan kembali penyelidikan kasus Marsinah.
“Kalau negara mengakui jasanya, maka negara juga wajib mengungkap siapa pelaku pembunuhannya. Kalau tidak, ini hanya pencitraan kosong,” tegasnya.
Kontroversi ini mengingatkan publik bahwa sejarah tak bisa diperingati setengah hati—Marsinah bukan hanya simbol perjuangan, tapi juga simbol ketidakadilan yang belum ditebus.