Jalan Rusak Puluhan Tahun, Warga Matombura: Kami Masih Bagian dari Muna, atau Sudah Dibuang?

RANAHSULTRA.COM – Di balik hamparan hijau alam Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, tersimpan luka yang dalam dari dua desa yang sejak lama terlupakan. Warga Desa Wale Ale dan Matombura masih terus menantikan sesuatu yang mestinya sederhana: jalan yang layak untuk dilalui. Namun harapan itu kian hari kian memudar, seperti aspal jalan yang perlahan menghilang ditelan tanah dan waktu.

Jalan penghubung antara Kecamatan Bone dan Tongkuno seolah menjadi simbol dari kegagalan pembangunan yang adil. Ruas jalan ini, yang seharusnya menjadi nadi penggerak ekonomi dan kehidupan warga, kini lebih mirip lintasan derita. Lubang-lubang menganga, bebatuan tajam, dan lumpur tebal di musim hujan menjadi rintangan harian yang harus dihadapi tanpa pilihan.

Baca Juga : Jalan Rusak Parah, Warga Wapuale Merasa Dianaktirikan

Warga Matombura masih mengingat tahun 1988, ketika untuk pertama kalinya jalan ini diaspal. Dua dekade lalu, harapan sempat menyala lagi saat perbaikan dilakukan pada 2001. Namun nyala itu tak pernah menjadi terang. Pekerjaan berhenti hanya sampai diperbukitan SMP di desa Wale Ale. Sisanya? Ditelan diam dan janji-janji kosong.

“Seperti dilupakan. Padahal ini jalan kabupaten,” ujar seorang warga dengan suara parau. Ia berdiri di tepi jalan rusak, menunjuk pada bekas aspal yang kini tinggal serpih. “Kami sudah terlalu lama menunggu. Tapi sepertinya pemerintah sudah tidak melihat kami lagi.”

Baca Juga : Kondisi Jalan di Desa Wadolao Semakin Memprihatinkan, Warga Harapkan Perhatian Pemkab Muna

Kerusakan jalan bukan sekadar soal kenyamanan, tapi soal keselamatan dan keberlangsungan hidup. Hasil pertanian yang menjadi tumpuan ekonomi warga tak bisa cepat sampai ke pasar. Anak-anak berangkat sekolah menantang risiko jatuh. Ibu hamil harus bertaruh nyawa jika harus melahirkan di tengah malam.

Ironisnya, di saat para pemimpin daerah berbicara soal pemerataan pembangunan di podium-podium megah, warga Bone dan Tongkuno justru merasa semakin terpinggirkan. Kata-kata manis tentang kesejahteraan hanya terdengar saat kampanye pemilihan Kepala Daerah, tak pernah menjejak di tanah mereka yang berlubang.

Baca Juga : DPRD Sultra dan Bupati Muna Sepakat Perkuat Sinergi Pembangunan

“Kalau ini memang jalan kabupaten, mengapa sudah lebih dari 20 tahun tidak ada tindakan?” tanya seorang warga dengan getir. Pertanyaan itu menggantung, sepi dari jawaban. Mereka mulai meragukan: apakah wilayah mereka masih bagian dari peta yang disebut ‘Kabupaten Muna’?

Tak sedikit yang meyakini bahwa infrastruktur di Muna dibangun atas dasar kedekatan, bukan kebutuhan. “Kalau kampungnya pejabat, jalan bisa mulus dalam semalam. Tapi kami? Lima belas tahun pun cuma dapat janji,” ungkap seorang warga lain. Ia enggan menyebut nama, tapi jelas suaranya menyimpan amarah yang dalam.

Kini, jalan rusak itu bukan hanya jadi saksi bisu kelalaian, tapi juga menjadi kuburan bagi harapan. Setiap lubang yang menganga di jalan seakan menggambarkan lubang di hati warga lubang kepercayaan terhadap para pemimpin yang mereka pilih sendiri.

Lebih menyakitkan lagi, hingga berita ini ditulis, tidak ada satu pun perwakilan Pemerintah Kabupaten Muna yang bersuara. Sunyi. Seperti jalan itu, suara rakyat pun seolah ditelan diam.

Warga Wale Ale dan Matombuera tidak meminta hal yang muluk. Mereka hanya ingin bisa melintasi tanah mereka sendiri tanpa rasa takut. Mereka ingin anak-anak mereka bisa sekolah tanpa harus berjalan kaki bermil-mil di jalan yang lebih mirip kubangan. Mereka ingin didengar.

Barangkali, sudah saatnya pemerintah turun dari menara janji dan melihat sendiri bagaimana rakyat bertahan di jalan yang nyaris tak bisa disebut jalan. Karena membangun bukan hanya soal beton dan aspal, tapi soal menghargai martabat manusia yang tinggal di atas tanah republik ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *